Jakarta - Pemilihan Gubernur melalui anggota legislatif provinsi sudah bukan wacana lagi. Setidaknya dalam draf Rancangan Undang-undang tentang Pilkada yang disusun Kementerian Dalam Negeri, gamblang menyebutkan bila pemilihan gubernur dilakukan melalui DPRD.
Tentang isi draf tersebut, khususnya mengenai pengaturan pemilihan gubernur tak lagi dilaksanakan secara langsung, dibenarkan Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kemdagri, Djohermansyah Djohan, Jumat (28/1). "Ya, sudah beres sudah selesai semuanya (di Kemendagri). Selanjutnya kita masih melakukan harmonisasi dengan sambil mendengar suara publik," katanya kepada wartawan.
Namun, meski Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) secara tegas mengusung ide pemilihan Gubernur oleh DPRD, peluang bagi calon perseorangan untuk bisa mencalonkan diri masih tetap terbuka. Itulah kenapa draf masih dilakukan harmonisasi dengan pendapat publik, karena dibeberapa pasal juga mengatur pencalonan melalui perorangan.
Di antaranya pasal 10 ayat (1) huruf b, yang memungkinkan adanya calon perseorangan dengan satu syarat calon itu mendapat dukungan minimal dari masyarakat yang dikelompokkan berdasarkan jumlah penduduk.
Mengenai jumlah penduduk itu diatur dalam pasal 10 ayat (3) TUU Pilkada, provinsi dengan jumlah penduduk hingga dua juta jiwa maka calon perseorangan harus mendapat dukungan minimal 6,5 persen dari jumlah warga. Sedangkan provinsi dengan jumlah penduduk antara 2 juta-6 juta jiwa, maka jumlah dukungan minimalnya adalah 5 persen.
Adapun provinsi dengan jumlah penduduk antara 6 juta-12 juta, jumlah dukungan minimalnya adalah 4 persen. Terakhir, provinsi dengan jumlah penduduk di atas 12 juta maka dukungan minimalnya adalah 3 persen.
Namun demikian jumlah dukungan itu harus tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kabupaten/kota. Dukungan juga harus dituangkan dalam surat dukungan yang disertai KTP atau dokumen kependudukan yang diakui UU.
RUU itu sendiri terdiri dari 190 pasal. Mengenai persyarakat peserta dari jalur Parpol diatur dalam pasal 10 ayat (1) huruf a RUU Pilkada, dimana disebutkan peserta pemilihan adalah calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. Sedangkan syarat minimal pencalonan, pasangan calon harus diusung sekutrang-kurangnya 15 pesrsen dari jumlah kursi DPRD.
Sedangkan mengenai pemilihan gubernur dilakukan oleh DPRD diatur dalam pasal 2 RUU Pilkada, yang disebutkan bahwa Gubernur dipilih oleh DPRD secara demokratis berdasarkan asas bebas, rahasia jujur dan adil. Dalam hal ini disebutkan sebagai pelaksana pemilihan gubernur adalah DPRD Provinsi dan KPu Provinsi.
Djohermansyah menambahkan, usulan Kemendagri tentang Gubernur dipilih DPRD Provinsi itu bedasarkan banyak alasan. Pertama, pertimbangan karena otonomi di tingkat provinsi sangat terbatas dibanding tingkat kabupaten/kota.
"Karena terbatas itulah maka bagaimana demokrasi dikembangkan di situ, apakah demokrasi dikembangkan dengan pemilihan langsung atau cukup representatif demokrasi. Representatif demokrasi itu ya dengan pemilihan tak langsung itu. Itu juga cara yang demokratis," tegasnya.
Efisiensi pembiayaan Pilkada juga menjadi pertimbangan tersndiri sehingga Kemendagri mengusung ide Pemilihan Gubernur oleh DPRD itu. Djohermansyah berharap ada pembedaan antara biaya penyelenggaraan Pilkada dengan biaya yang dikeluarkan calon.
Biaya penyelenggraaan Pilkada murni dengan uang negara. Dicontohkannya Pemilukada Jawa Timur yang menghabiskan Rp 970 miliar. Itu biaya penyelenggaraan Pilkada yang harus dikeluarkan pemerintah, bukan biaya yang dikeluarkan peserta atau calon. "Jawa Timur menghabiskan Rp 970 miliar. Itu uang rakyat hampir Rp 1 triliun untuk memilih pemimpin yang wewenangnya terbatas," pungkasnya.
Biaya sebesar itu menurutnya sangat tak sebanding dengan wewenang yang diberikan kepada gubernur yang dinilainya terbatas itu. Menurutnya, tugas gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di provinsi hanya 70 persen dan hanya 30 persen saja tugasnya didaerah.
Tentang isi draf tersebut, khususnya mengenai pengaturan pemilihan gubernur tak lagi dilaksanakan secara langsung, dibenarkan Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kemdagri, Djohermansyah Djohan, Jumat (28/1). "Ya, sudah beres sudah selesai semuanya (di Kemendagri). Selanjutnya kita masih melakukan harmonisasi dengan sambil mendengar suara publik," katanya kepada wartawan.
Namun, meski Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) secara tegas mengusung ide pemilihan Gubernur oleh DPRD, peluang bagi calon perseorangan untuk bisa mencalonkan diri masih tetap terbuka. Itulah kenapa draf masih dilakukan harmonisasi dengan pendapat publik, karena dibeberapa pasal juga mengatur pencalonan melalui perorangan.
Di antaranya pasal 10 ayat (1) huruf b, yang memungkinkan adanya calon perseorangan dengan satu syarat calon itu mendapat dukungan minimal dari masyarakat yang dikelompokkan berdasarkan jumlah penduduk.
Mengenai jumlah penduduk itu diatur dalam pasal 10 ayat (3) TUU Pilkada, provinsi dengan jumlah penduduk hingga dua juta jiwa maka calon perseorangan harus mendapat dukungan minimal 6,5 persen dari jumlah warga. Sedangkan provinsi dengan jumlah penduduk antara 2 juta-6 juta jiwa, maka jumlah dukungan minimalnya adalah 5 persen.
Adapun provinsi dengan jumlah penduduk antara 6 juta-12 juta, jumlah dukungan minimalnya adalah 4 persen. Terakhir, provinsi dengan jumlah penduduk di atas 12 juta maka dukungan minimalnya adalah 3 persen.
Namun demikian jumlah dukungan itu harus tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kabupaten/kota. Dukungan juga harus dituangkan dalam surat dukungan yang disertai KTP atau dokumen kependudukan yang diakui UU.
RUU itu sendiri terdiri dari 190 pasal. Mengenai persyarakat peserta dari jalur Parpol diatur dalam pasal 10 ayat (1) huruf a RUU Pilkada, dimana disebutkan peserta pemilihan adalah calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. Sedangkan syarat minimal pencalonan, pasangan calon harus diusung sekutrang-kurangnya 15 pesrsen dari jumlah kursi DPRD.
Sedangkan mengenai pemilihan gubernur dilakukan oleh DPRD diatur dalam pasal 2 RUU Pilkada, yang disebutkan bahwa Gubernur dipilih oleh DPRD secara demokratis berdasarkan asas bebas, rahasia jujur dan adil. Dalam hal ini disebutkan sebagai pelaksana pemilihan gubernur adalah DPRD Provinsi dan KPu Provinsi.
Djohermansyah menambahkan, usulan Kemendagri tentang Gubernur dipilih DPRD Provinsi itu bedasarkan banyak alasan. Pertama, pertimbangan karena otonomi di tingkat provinsi sangat terbatas dibanding tingkat kabupaten/kota.
"Karena terbatas itulah maka bagaimana demokrasi dikembangkan di situ, apakah demokrasi dikembangkan dengan pemilihan langsung atau cukup representatif demokrasi. Representatif demokrasi itu ya dengan pemilihan tak langsung itu. Itu juga cara yang demokratis," tegasnya.
Efisiensi pembiayaan Pilkada juga menjadi pertimbangan tersndiri sehingga Kemendagri mengusung ide Pemilihan Gubernur oleh DPRD itu. Djohermansyah berharap ada pembedaan antara biaya penyelenggaraan Pilkada dengan biaya yang dikeluarkan calon.
Biaya penyelenggraaan Pilkada murni dengan uang negara. Dicontohkannya Pemilukada Jawa Timur yang menghabiskan Rp 970 miliar. Itu biaya penyelenggaraan Pilkada yang harus dikeluarkan pemerintah, bukan biaya yang dikeluarkan peserta atau calon. "Jawa Timur menghabiskan Rp 970 miliar. Itu uang rakyat hampir Rp 1 triliun untuk memilih pemimpin yang wewenangnya terbatas," pungkasnya.
Biaya sebesar itu menurutnya sangat tak sebanding dengan wewenang yang diberikan kepada gubernur yang dinilainya terbatas itu. Menurutnya, tugas gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di provinsi hanya 70 persen dan hanya 30 persen saja tugasnya didaerah.
Tidak ada komentar: